Kebetulan karena ingin ke toilet, saya jadi kesasar ke Perpustakaan Umum Pemerintah Daerah Jakarta Selatan yang terletak di Jl. Gandaria. Sudah beberapa kali saya melewati gedung itu, tapi baru kali ini berkesempatan masuk. Perpustakaan ini berlokasi di kompleks perumahaan, sehingga tidak terlalu terlihat dari tempat keramaian. Keberadaan perpustakaan ini cukup mengagetkan juga bagi saya. Berarti setiap wilayah di Jakarta punya perpustakaan. Sewaktu membaca tulisannya bung Pautan Pasaribu yang bercerita tentang berakhir pekan di perpustakaan, saya selalu membayangkan seandainya di kota ini ada sebuah perpustakaan seperti itu.
Di depan perpustakaan ada sebuah taman yang kurang nyaman. Rumput-rumputnya tidak terlihat tumbuh subur. Tidak ada kehijauan dan kalau hujan menjadi becek. Pada taman tersebut disediakan beberapa tempat duduk dan terlihat cukup bersih. Di depan perpustakaan juga ada tukang cendol dan tukang mie ayam gerobak. Di seberang perpustakaan juga ada warung mie ayam yang kelihatannya menarik. Jadi lingkungan di sekitar perpustakaan cukup nyaman bagi pengunjungnya yang ingin membaca di taman atau ingin makan.
Perpustakaan ini menempati sebidang tanah yang cukup luas, untuk ukuran kompleks perumahaan. Sebagian dari lahan tersebut digunakan sebagai lahan parkir. Sayangnya pintu gerbang selalu tertutup, untuk menjelaskan bahwa lahan parkir tersebut bukan untuk umum.
Gedung perpustakaan sendiri terdiri dari dua lantai. Lantai pertama terdiri dari lobby, yang sebagian diisi oleh meja resepsionis dan tempat penitipan tas dan sebagian lagi counter fotocopy yang juga menjual pulsa telpon. Pada meja resepsionis terdapat sekitara tiga orang yang duduk terkantuk-kantuk. Entahlah apa tugas mereka, mungkin satu orang untuk melayani pertanyaan, satu orang untuk melayani penitipan barang dan satunya lagi untuk menemani kedua temannya. Saya sendiri dapat menyelonong masuk tanpa ditanya oleh ketiga mereka. Selain itu, pada lantai satu juga terdapat kantor, perpustakaan anak-anak, dan toilet khusus untuk pengunjung. Toiletnya cukup luas, terlihat baru dan terdiri dari material yang bagus. Sayangnya terkesan jorok dengan air yang menggenang dan ada WC yang tidak disiram. Saya memang tidak melihat petugas kebersihan berkeliaran di situ.
Saya sempat mengintip ke perpustakaan anak-anak. Ruangan itu terasa besar sekali karena rak-raknya sangat sedikit. Buku-bukunya juga tidak banyak. Di ruangan ini terdapat kursi dan meja kecil berwarna-warni seperti yang sering kita temui di TK. Pada saat saya mampir, ruangan itu kosong tidak ada pengunjung. Hanya ada dua orang pegawai yang kelihatannya sedang merebahkan diri beristirahat sambil mengobrol. Saya jadi tidak enak untuk masuk ke dalam.
Ruang utama perpustakaan sepertinya ada di lantai 2. Ketika akan naik tangga ada tulisan bahwa anak kecil dilarang naik. Lucu juga. Apakah mereka khawatir anak kecil jatuh dari tangga, mengganggu pengunjung perpustakaan, atau, yang lebih menarik, banyak buku orang dewasa di atas.
Begitu sampai di lantai dua, saya langsung bertemu dengan satu ruangan terbuka. Di bagian depan ruangan terdapat satu unit komputer untuk pencarian koleksi. Saya belum mencobanya. Seandainya bisa terkoneksi dengan perpustakaan-perpustakaan lain keren juga. Di seberang komputer terdapat counter pelayanan, kembali dengan tiga orang pegawai. Setelah itu terdapat meja-meja bulat model meja di kafe di mana pengunjung bisa membaca buku sambil bercengkerama. Baru di bagian dalam terdapat rak-rak buku. Jumlah rak tidak terlalu banyak, kalah jauh dengan toko buku. Saya telusuri buku-buku di situ. Saya jadi teringat dengan perpustakaan mahasiswa di Kuningan yang sering saya kunjungi di tahun 1980an. Polanya hampir sama. Banyak judul yang tidak menarik dengan jumlah 3 sampai 7 buku. Mereka berjejer tidak tersentuh. Salah satu kelemahan perpustakaan daerah seperti ini sepertinya adalah pemilihan judul buku yang perlu dimiliki. Pengelola cenderung untuk membeli saja dalam jumlah yang banyak. Koleksi buku di perpustakaan ini kebanyakan merupakan terbitan lama.
Di lantai dua, selain ruang perpustakaan umum, juga terdapat toilet untuk karyawan dan mushala. Selain itu ada ruangan referensi. Ruangan ini ramai dengan pengunjungnya. Ternyata kebanyakan mereka membaca koran dan majalah. Di ruangan ini, selain koran dan majalah, kita juga bisa menemukan buku referensi, seperti ensiklopedia dan beberapa buku statistik. Selain itu juga terdapat buku-buku agama (Islam) dan buku biografi. Di ruangan ini saya menemukan buku Kompasiana PK Ojong, buku Catatan Subversif Mochtar Lubis, Memoar Mohammad Hatta, dan banyak buku lainnya. Kelebihan dari perpustakaan ini tampaknya pada koleksi buku-buku lama yang sudah tidak dapat ditemui di toko buku.
Hanya itulah koleksi yang bisa ditemui di perpustakaan ini. Jangankan koleksi-koleksi multi media dan jaringan internet, koleksi bukunyapun sangat terbatas. Secara umum saya melihat Perpustakaan Umum Jakarta Selatan sebagai perpustakaan yang sepi. Sepi koleksi dan sepi pengunjung. Sayang sekali. Padahal perpustakaan ini buka sampai malam, dan pernah juga buka pada hari Sabtu dan Minggu.
Ada beberapa hal, menurut saya, yang menyebabkan perpustakaan ini seperti mati segan hidup tak mau. Lokasi dan koleksinya tidak menarik. Bekerja pada perpustakaan ini rasanya juga tidak menarik bagi para pustakawan, sehingga pada akhirnya kompetensi pustakawan pada perpustaan ini terbatas. Selain itu, rasanya yang paling penting adalah kurangnya perhatian dari Pemerintah untuk mengembangkan suatu perpustakaan. Kalau tidak salah, rasanya perpustakaan dan museum tidak masuk dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Saya tidak tahu tercakup pada peraturan perundangan apakah perpustakaan ini. Tapi dengan tidak masuknya perpustakaan dalam Sistem Pendidikan Nasional, maka pengembangan perpustakaan juga bukan merupakan prioritas dalam alokasi anggaran.
Saya jadi teringat beberapa perpustakaan yang sering saya kunjungi di tahun 1980an. Perpustakaan yang paling berkesan mungkin adalah perpustakaan Yayasan Idayu yang dimiliki oleh keluarga Masagung dari Toko Buku Gunung Agung, kalau tidak salah. Perpustakaan ini memiliki koleksi buku-buku yang kuno yang sulit ditemui di toko buku atau perpustakaan lain. Lokasi perpustakaan yang terletak di Gedung Kebangkitan Nasional membuat seakan-akan saya adalah mahasiswa kedokteran di jaman penjajahan Belanda dulu. Kita bisa membaca buku di mana saja di sekitar gedung. Kita juga bisa melihat ruang-ruang kelas tempat calon-calon dokter yang kemudian memikirkan kelahiran bangsa ini belajar. Perpustakaan Idayu benar-benar merupakan perpustakaan yang menyenangkan untuk sering-sering dan berlama-lama dikunjungi. Sayang sekali perpustakaan ini kemudian tutup.
Perpustakaan lainnya yang mengesankan bagi saya adalah Perpustakaan Mahasiswa di Kuningan, Perpustakaan CSIS tempat mencari kliping, dan perpustakaan LPPM tempat koleksi buku-buku manajemen terlengkap saat itu. Saya sempat sedih sekali ketika suatu saat Perpustakaan LPPM dijadikan tertutup hanya untuk mahasiswa dan peserta kursus di situ. Untung kebijakan itu tidak lama, sehingga saya bisa berkunjung kembali.
Sepanjang hidup saya malah saya belum pernah berkunjung ke Perpustakaan Nasional.
Terpikir oleh saya seandainya kegiatan CSR perusahaan-perusahaan besar tidak hanya terbatas pada pemberian bea siswa, tapi pendirian perpustakaan-perpustakaan, bukan taman bacaan, dan museum yang besar, mungkin perusahaan tersebut bisa mengisi suatu yang kosong dan memberikan perbedaan bagi bangsa ini. Karena perpustakaan merupakan sarana belajar yang tidak memberikan prasyarat usia, tingkat pendidikan dan biaya. Karena perpustakaan merupakan sarana bagi siapa saja yang mau belajar.
0 comments:
Posting Komentar
Link broken? unavailable picture? Kurang jelas? Tell us!